AWAL tahun lalu, Bambang Soerjadi, 74 tahun, kaget kedatangan tiga
tamu tak dikenal. Mereka berbicara dengan aksen Sunda. Setelah disilakan
duduk di kursi tua di ruang tamu rumahnya, salah seorang tamu-yang
kurus dan berkumis-memperkenalkan diri sebagai Herman. Ia menantu
Dianti, salah seorang anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. “Setelah
itu, saya senang sekali,” kata Soerjadi. “Seperti sudah kenal lama.”
Bersama saudara-saudaranya, Herman datang dari Garut, Jawa Barat,
untuk mengumpulkan kembali keluarga besar “Imam”-panggilan
Kartosoewirjo-yang terserak. “Selama ini silaturahmi terputus,” kata
Herman, yang dihubungi terpisah. Ia mengemban tugas wakil keluarga
Kartosoewirjo. Pertemuan penuh haru di rumah di Jalan Setiabudi Nomor
20, Rembang, Jawa Tengah, itu diakhiri pelukan emosional
Soerjadi sendiri tak pernah mengenal sosok Kartosoewirjo. “Bahkan
fotonya saja saya ndak punya,” katanya. Tapi dia adalah cucu dari kakak
Kartosoewirjo, yang bernama Soemarti Ning. Lantaran ayah mereka bekerja
sebagai mantri candu, Soemarti kecil mendapat nama panggilan Belanda:
Dora. “Saya lebih mengenalnya sebagai Eyang Dora,” kata Soerjadi.
Belakangan ia baru tahu, Eyang Dora adalah kakak Kartosoewirjo. “Ibu
saya selalu menutupi.”
Soemarti dan Sekarmadji Maridjan merupakan sepasang anak
Kartosoewirjo, pegawai perusahaan kehutanan milik Belanda. Mereka tumbuh
dan mengecap pendidikan di sekolah Belanda di Kota Rembang. Selama ini,
nama ibu mereka tidak pernah diketahui. “Saya juga tidak tahu,” kata
Sardjono, anak bungsu Sekarmadji.
Sejak muda, Sekarmadji gemar merantau, dan terakhir mengikuti H.O.S.
Tjokroaminoto di Surabaya. Soemarti terus menetap di Rembang. Soemarti
menikah dengan Soero Dipo Menggolo, yang bekerja sebagai mantri
guru-semacam kepala sekolah. Mereka memiliki seorang anak perempuan
bernama Sri Suryowati. Sedangkan Sekarmadji, sejak menikahi Dewi Siti
Kalsum, tinggal di Malangbong, Garut. Keturunan Soemarti berbahasa Jawa,
sedangkan keturunan Sekarmadji sehari-hari bercakap dalam bahasa Sunda.
Sri Suryowati menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Soedarmo,
pemuda asal Blora, dikaruniai dua anak, yakni Sri Rahayu Siti Jumilah
dan R. Handoyo. Setelah bercerai, Sri menikah dengan Roesman, asal
Rembang. Ia melahirkan dua anak, yakni Bambang Soerjadi dan Bambang
Soerjono. Setelah bercerai lagi, Sri menikah dengan Soeryanto, asal
Kebumen, dan membuahkan dua anak, yaitu Bambang Irawan dan Endang
Irowati.
Dari enam anak Sri, hanya Soerjadi dan Bambang Irawan yang masih
hidup. “Dia kena stroke dan sulit berkomunikasi,” kata Soerjadi tentang
saudara tirinya itu. Soerjadi juga tidak mengetahui keberadaan keturunan
saudara-saudaranya yang lain.
Dari enam bersaudara itu, Bambang Soerjono merupakan yang paling
unik. Dia memeluk agama Kristen, mengikuti agama istrinya, Iswati, asal
Semarang. Dari pernikahan itu, lahir tiga anak yang kini menetap di
Semarang, yakni Rony, Arianto, dan Fifi. “Saya tidak pernah bertemu
mereka dan kehilangan kontak,” Soerjadi menerawang.
Belakangan, Soerjono bercerai dan balik ke Rembang. Ia menikah lagi
dengan Sasanti, yang juga beragama Kristen. Dari pernikahan itu, lahir
dua anak: Emi dan Bagus. Dengan keluarga satu kota ini pun Soerjadi
tidak punya kontak. Bahkan, pada saat Lebaran, keponakannya tidak ada
yang datang menjenguknya. “Paling cuma papasan bertemu di jalan,” ujar
Soerjadi. Sepeninggal Soerjono, Sasanti lebih banyak menetap di Jakarta
dengan keluarga lainnya.
Soerjadi, yang memiliki lima anak dan sebelas cucu, tinggal bersama
anak perempuan dan dua cucunya. Ia pernah datang ke Malangbong, pada
1980-an, untuk menemui Eyang Dora, yang di Malangbong lebih dikenal
sebagai Wak Mantri. “Ternyata (waktu itu) sudah meninggal,” katanya.
Soemarti alias Eyang Dora menetap di Malangbong sejak 1960-an setelah
bercerai dari Dipo Menggolo. Soemarti wafat pada 1975 dan dikubur di
pemakaman keluarga di Malangbong. “Nisannya tak bernama,” kata Herman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar