BATU-BATU kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan
pohon-pohon menjulang. Ini sebuah kompleks makam keluarga di belakang
Masjid Jamik di Kampung Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota
pedalaman di Jawa Barat. Suasana hening dan adem ketika Tempo berziarah
ke sana pada Juli lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum, istri
Kartosoewirjo, yang akrab dipanggil Wiwiek, beristirahat untuk
selamanya.
Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun.
Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah,
ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di
pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya
dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono, anak bungsu
Kartosoewirjo, kepada Tempo.
Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas
keberadaan jasad Kartosoewirjo setelah dia dieksekusi mati pada
September 1962 di sebuah tempat di Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya
ingin menunjukkan cintanya kepada Dewi hingga akhir hayat: meminta
dirinya dikuburkan di Malangbong-kendati tak kesampaian.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu.
Dewi sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia
delapan tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke
Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman
ini amat membekas di hati dia.
Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan
memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan
penjualan padi hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916,
Belanda menembak mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut.
Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan,
termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.
Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) met de Quran
Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914,
seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajah Belanda
kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini
menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche
School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di HIS
anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.
Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada 1928, muncullah seorang pemuda
di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang juga
mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan
sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agoes Salim ke
Belanda. Agoes Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat
Islam Indonesia di Garut.
Sekarmadji saat itu sudah terkenal di kalangan Partai Sarekat Islam
Indonesia. Dialah sekretaris pribadi singa podium Haji Oemar Said
Tjokroaminoto-yang ikut melambungkan nama Kartosoewirjo ke kancah
gerakan perlawanan terhadap Belanda. Pada Desember 1927 Karto terpilih
sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia. Sejak itu, ia
banyak melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam.
Turne itu pula yang akhirnya membawa dia ke Malangbong menemui
Ajengan Ardiwisastra. Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929,
Sekarmadji menikahi Dewi di Malangbong. Tentang pernikahan ini, seorang
ulama seusia Ardiwisastra mengatakan Sekarmadji diambil menantu
semata-mata karena motif kepartaian. “Apakah calon menantunya tampan
atau buruk muka tidak penting,” kata ulama tadi kepada Pinardi, penulis
buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964.
Bagi Sekarmadji, Dewi punya semacam pertalian darah dengan dia,
sama-sama keturunan Arya Penangsang. Dalam sejarah Kerajaan Demak abad
ke-15, Arya Penangsang adalah penguasa kawasan Jipang yang terbunuh
dalam perebutan kekuasaan setelah pamor Demak merosot.
Kepada Ateng Jaelani, tokoh Darul Islam yang lain, Sekarmadji pernah
bakal menjadi menantu Haji Agoes Salim. Tapi, karena Agoes Salim kalah
berdebat dengan Sekarmadji, akhirnya batal. Penyebab lain, Sarekat Islam
pecah. Kartosoewirjo tak sehaluan dengan Agoes Salim yang mau berunding
dengan Belanda untuk bicara kemerdekaan. Dan Kartosoewirjo memilih
jalan politik nonkooperatif terhadap Belanda.
Ardiwisastra memandang Sekarmadji pemuda ideal. Apalagi dia punya
haluan politik serupa. Pada Adiwisastra, Sekarmadji memperdalam
keislaman dan kepartaiannya.
Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi
dia tak mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun
keluar-masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak
tahu,” kata Dewi kepada Tempo edisi 5 Maret 1983 (basa “Kisah
Pengalamannya … “). Kalau disebut karena cinta, “Bapak itu sebetulnya
orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.
Yang pasti, pada hari tuanya-tanpa Kartosoewirjo-Dewi hidup tenang
dan cenderung dingin. Riwayat hidup yang lebih banyak dilumuri cerita
duka bergerilya dengan Kartosoewirjo pernah ia ceritakan kepada Tempo 27
tahun lalu itu tanpa emosi.
Sebagai istri orang pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut
suami. Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di
rumah kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo
berurusan dengan rumah tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi
pulang ke Malangbong. “Saya juga pulang kampung kalau mau melahirkan,”
kata Dewi.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak
terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan.
Anak-anak yang lain lahir di rumah. Mereka: si sulung Tati yang
meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak dan meninggal pada
1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat
(meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal
ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh,
dan Danti.
Sebagai perempuan, Dewi mula-mula takut juga hidup di hutan. Apalagi
saat itu Dewi menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat
berpikir tentang masa depan anak-anaknya dan sering tercenung sedih.
Tapi Kartosoewirjo yang ia kagumi selalu menghibur. “Kok, sedih amat
sih!” Itu kalimat yang kerap Kartosoewirjo ucapkan jika Dewi sedang
bermuram durja. Biasanya, jika suaminya bilang seperti itu, Dewi
langsung merasa tenteram.
Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di
hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di
Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak
akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi
menitikkan air mata. Karto, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh.
Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar