Di dalam konferensi di kota Mataram baru-baru ini, Partindo telah
mengambil putusan tentang Marhaen dan Marhaenisme, yang poin-poinnya
antara lain sebagai berikut:
1. Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
2. Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum Tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena
perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh
karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan
lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat
Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya
(bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan
susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan
masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya,
harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
8. Jadi Marhaenisme adalah : cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.
* * *
Sembilan kalimat dari putusan ini sebenarnya sudah cukup terang
menerangkan apa artinya Marhaen dan Marhaenisme. Memang
perkataan-perkataannya di sengaja perkataan-perkataan yang populer,
sehingga siapa saja yang membacanya, dengan segera mengerti apa
maksud-maksudnya. Namun, -ada satu kalimat yang sangat sekali perlu
diterangkan lebih luas, karena memang ssangat sekali pentingnya. Kalimat
itu ialah kalimat yang kelima. Ia berbunyi: “Di dalam perjuangan
Marhaen itu, maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum Proletar mengambil
bagian yang besar sekali.”
Satu kalimat ini saja sudahlah membuktikan, bahwa cara perjuanngan
yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang tidak ngelamun, cara
perjuangan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang “menurut
kenyataan”, -cara perjuangan yang modern. Sebab, apa yang dikatakan di
situ? Yang dikatakan disitu ialah, bahwa didalam perjuangan Marhaen,
kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
Ya, disini dibikin perbedaan paham yang tajam sekali antara Marhaen
dan Proletar. Memang di dalam kalimat nomor 2, nomor 3 dan nomor 4
daripada putusan itu adalah diterangkan perbedaan paham itu: bahwa
Marhaen bukanlah kaum Proletar (kaum buruh) saja, tetapi ialah kaum
Proletar dan kaum Tani melarat Indonesia yang lain-lain, -misalnya kaum
dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum
nelayan, dan kaum lain-lain. Dan kemodernannya dan kerasionilannya
kalimat nomor 5 itu ialah, bahwa di dalam perjuanngan bersama daripada
kaum Proletar dan kaum Tani dan kaum melarat lain-lain itu, kaum
Proletarlah mengambil bagian yang besar sekali: Marhaen seumumnya sama
berjuang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup, Marhaen seumumnya sama
berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan Marhaen seumumnya
pula –namun kaum Proletar yang mengambil bagian yang besar sekali.
Ini, paham ”Proletar mengambil bagian yang besar sekali”-, inilah
yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasional. Sebab kaum
Proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum
Proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkenal oleh
kapitalisme, kaum Proletarlah yang lebih “mengerti” akan segala-galanya
kemodernan Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Mereka lebih “selaras
dengan jaman”, mereka lebih “nyata pemikirannya,” mereka lebih
“konkret”, dan…Mereka lebih besar harga perlawanannya, lebih besar
gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya
masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup di
dalam angan-angan mistik yang melayang-layang diatas awang-awang, tidak
begitu “selaras jaman” dan “nyata pikiran” sebagai kaum Proletar yang
hidup di dalam kegemparan percampur gaulan abad keduapuluh. Mereka masih
banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu Adil”
atau “Heru Cokro” yang nanti akan terjelma dari kalangan membawa
kenikmatan surga dunia yang penuh dengan rezeki dan keadailan, ngandel
akan “kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya
pergaulan hidup baru dengan termenung di dalam gua.
Mereka di dalam segala-galanya masih terbelakang, masih “kolot”,
masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya begitu: mereka punya pergaulan
hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah
cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya
beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka
punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya
cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian
tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna
kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!
Sebaliknya kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada
kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal
akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme,
kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung
menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan,
lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme.
Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan
anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang
menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang
menjadi “pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal
kaum tani”, sejak adanya soal ikutnya si tani di dalam perjuangan
melawan stelsel (sistem, ed.) kapitalisme yang juga tak sedikit
menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah berkata bahwa di dalam
perjuangan tani dan buruh ini, kaum buruh lah yang harus menjadi
“revolutionaire voorhode” alias “barisan muka yang revolusioner”: kaum
tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan
dengan kaum buruh, dibela dalam perjuangan anti kapitalisme agar jangan
nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu, -tetapi di dalam
perjuangan bersama ini kaum buruhlah yang “menjadi pemanggul panji-panji
Revolusi Sosial”. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai
klasse ada suatu “social noodwendigheid” (suatu keharusan dalam sejarah,
ed.), dan memang kemeangan ideologi merkalah yang nanti ada suatu
“historische noodwendigheid”, -suatu keharusan riwayat, suatu kemustian
di dalam riwayat.
Welnu, jikalau benar ajaran Marx ini, maka benar pula kalimat nomor 5
daripada sembilan kalimat diatas tadi, yang mengatakan bahwa di dalam
perjuangan Marhaen, kaum Buruh mempunyai bagian yang besar sekali.
Tetapi orang bisa membantah bahwa keadaan di Eropa tak sama dengan
keadaan di Indonesia? Bahwa disana kapitalisme terutama sekali
kapitalisme kepabrikan, sedang disini ia adalah terutama sekali
kapitalisme pertanian? Bahwa disana kapitalisme bersifat zulvere
industrie, sedang disini ia buat 75% bersifat onderneming (perkebunan,
ed.) karet, “onderneming” teh, onderneming tembakau, onderneming karet,
onderneming kina, dan lain sebagainya? Bahwa disana hasil kapitalisme
itu ialah terutama sekali kaum Proletar 100%, sedang disini ia terutama
sekali ia menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa
disana memang benar mati hidup kapitalisme itu ada di dalam genggaman
kaum Proletar, tetapi di sini ia buat sebagian besaar ada di dalam
genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya disana kaum Proletar yang
menjadi “pembawa panji-panji,” tetapi disini belum tentu harus begitu
juga?
Ya,… benar kapitalisme disini adalah 75% industril kapitalisme
pertanian, benar mati hidupnya kapitalisme disini itu buat sebagian
besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal ini tidak merubah
kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa
panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak teryangnya suatu tentara
militer: yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada
seluruh tentara itu, tetapi toh ada satu barisan daripadanya yang
ditaruh dimuka, berjalan dimuka, berkelahi mati-matian dimuka,
-mempengaruhi dan menjalankan kenekatan dan keberaniannya seluruh
tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan pelopor. Nah, tentara
kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya klas Marhaen, tentara
yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita
adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum Proletar.
Oleh karena itu, pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika
tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan
“buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran ini,
kerjakanlah ajaran ini! Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu,
bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya!
Pergerakan politik Marhaen umum adalah perlu, -tetapi sarekat buruh dan
sekerja adalah juga perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan
tiada hingganya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar